Monday, November 13, 2023

Drama Euro trip

Banyak hal yang bikin saya hobi traveling, salah satunya adalah banyaknya pelajaran yang bisa diambil dari sebuah perjalanan. Bulan Agustus, tepatnya tanggal 16 Agustus saya memulai Euro trip saya yang berakhir di tanggal 23 September, yeppp, sekitar 40 hari keliling Eropa dengan gaya flashpacker yang lebih mirip "mengintip" daripada mengeksplorasi daerah yang dikunjungi. Selama perjalanan tersebut ada periode saya sendiri, dan ada juga yang ditemani seorang teman perjalanan, kurang lebih perbandingannya 50:50. Perjalanan ini adalah mimpi yang tertunda, tahun 2020 saya gagal ke Eropa karena COVID, sudah ada Visa dan seminggu sebelum berangkat canceled karna border lockdown. Dalam kurun waktu 40 hari tersebut saya mengunjungi 13 negara, dan dipostingin ini saya hanya akan fokus pada 13 drama yang terjadi selama perjalanan tersebut. Here we go!

  1. E-sim yang tidak terpakai
    Sebelum berangkat, saya research cara termurah untuk bisa internetan di Eropa yang mana jawabannya adalah dengan beli e-sim. Tergoda dengan harga yang murah, langsung beli lah saya e-sim dengan harga 10 USD. Sesampainya di Belanda, saya coba aktifkan e-sim saya yang ternyata tidak berhasil. Setelah coba konsultasi dengan teman saya di sana, ternyata hape saya gak compatible untuk e-sim, dang! Researchnya kurang dalem ya, jri, akibat mau cari yang murah aja. Jadilah 10 USD terbuang sia-sia.

  2. Tidur di berbagai tempat mulai dari stasiun, airport, sampai di bangku pinggir jalan
    Lagi-lagi akibat mau cari yang murah, saya beli tiket bus malam dari Amsterdam yang tiba di Bruges jam 2 malam. Saya membeli tiket untuk seluruh transportasi saya selama euro trip pada saat puncak summer, yang mana jam 5 pagi sudah terang, jadi saya pikir tak apalah tidur di stasiun toh cuma sebentar, setelah terang saya bisa mulai explore daerah tersebut. Bodohnya saya tidak memperhitungkan bahwa trip saya yang sesungguhnya adalah akhir Agustus yang mana jam 5 masih gelap. Bukan hanya itu, saat research saya menemukan ada shop yang buka 24 jam, yang ternyata saat itu tidak ada, bahkan stasiunnya pun ditutup. Jadilah saya duduk selonjoran di depan pintu stasiun seperti tunawisma, sampai stasiunnya buka jam 4 pagi dan saya pindah ke dalam, tertidur sambil posisi terduduk. Tertidur dengan posisi duduk berjam-jam juga saya alami di Rome Airport karena mengejar morning flight.

  3. Paspor hilang
    Yep, tragedi pertama dimulai di Barcelona saat saya kemalingan tas kecil saya di McD. Salah saya juga sih yang ceroboh tarok tas di bangku saat saya pesan makanan. Untungnya, (orang Indo di berbagai situasi sulit sekalipun masih bilang untung), saat itu saya ambil dompet saya karna mau bayar. Naasnya, meski ga banyak isinya, di tas kecil saya itu ada passport, dan itu terjadi 4 jam sebelum penerbangan saya ke Rome! 5 menit setelah saya kehilangan tas, ada pengunjung lain yang juga dicuri tasnya di McD yang sama. Mencoba tenang di tengah kepanikan, saya ke kantor polisi untuk buat laporan, dan selama 1,5 jam saya di kantor polisi itu ada 6 orang lain yang mengalami peristiwa naas serupa dengan lokasi yang berbeda-beda. So, harus super hati-hati saat di Barcelona karna banyak maling! Akhirnya saya harus merelakan tiket penerbangan saya hangus, saya pun cari hostel di Barcelona untuk mengurus paspor saya yang hilang keesokannya di Indonesian Embassy di Madrid. Alhamdulillah petugas embassy di Madrid sangat koperatif, mereka bahkan melayani saya di hari Sabtu jam 6 sore. Kudos buat bapak2 di embassy! Setelah mendapat SPLP sebagai pengganti paspor, saya pun mulai merenung apakah akan melanjutkan euro trip saya dengan resiko dideportasi karna tidak ada visa di SPLP saya, atau mengikuti aturan dan kembali ke UK karna SPLP seharusnya hanya dipakai 1x perjalanan balik ke negara domisili. Dengan modal nekat, saya pun membeli tiket Madrid-Budapest dan melanjutkan Euro trip saya. Alhasil, setiap kali saya pindah dari satu negara ke negara lain, saya tidak tenang, selalu nervous, deg2an setengah mati takut diperiksa dan dideportasi.

  4. Hampir kena denda 500rb di Budapest
    Budapest adalah salah satu kota dimana turis diingatkan berkali2 tentang tiket yang harus divalidasi. Petugas tiket termasuk yang paling sering razia seantero Eropa, beda dengan di Vienna yang mana orang lokal bilang hanya 2x dalam setahun ada petugas yang periksain tiket. Petugas tersebut akan naik ke bus, tram, kereta, untuk cek tiket kita. Saat saya berikan tiket saya, ternyata itu adalah tiket 1x jalan dari airport ke city center. Saya kira itu adalah daily ticket yang memang saya beli untuk 2 hari di Budapest, tapi ternyata bukan. Saya tunjukkan m-banking saya ke petugas untuk membuktikan saya membeli daily ticket, dan petugas dengan santainya bilang "I want you to show the ticket, not the story". Mulai panik, saya cari2 lagi receipt pembelian tiket saya, Alhamdulillah ketemu! Ternyata oh ternyata, 'receipt' itulah si daily ticket, jadi saya yang salah. Saya kira itu receipt, tapi ternyata bukan, itu daily ticket yang seharusnya saya pake dari hari pertama. Fyuhh,, untung selamat.

  5. Gagal berangkat karena gak print ticket
    Lagi-lagi karna kurang baca, ternyata tiket kereta saya dari Bratislava-Vienna itu harus diprint, yang mana baru saya sadari saat saya otw ke stasiun. Di stasiun pun tidak ada tempat self-print. Menyusahkan? Yap, memang begitu adanya. Akhirnya saya harus beli tiket bus baru supaya bisa tetap ke Vienna.

  6. Dibangunin kasar di hostel di Poland
    Sebagai orang yang lebih sering menggunakan Couch Surfing, pengalaman kedua saya menginap di hostel adalah saat saya di Wroclaw. Betapa terkejutnya saya ketika tengah malam seorang wanita, yang mana resepsionis hostel tersebut, membangunkan saya dengan sangat kasar, dengan menggoyangkan kaki saya sangat keras. Kesalahpahaman terjadi karena saya tidur di kasur dengan nomor berbeda yang diberikan ke saya, yang mana itu terjadi karna ada orang yang sudah nempatin kasur saya. Sebagai orang timur yang ga enakan, saya ga bangunkan orang tersebut, dan ga lapor ke resepsionis, melainkan saya tidur di kasur yang memang kosong. Ternyata hal itu bukan pilihan yang tepat karna akhirnya saya yang dibangunkan dan disuruh pindah ke kasur saya semula. Orang yang tidur di kasur saya pun dibangunkan dan disuruh pindah, tapi dia ngeyel, gak mau pindah. Akhirnya saya mengalah supaya bisa lanjut tidur, pindah ke kasur yang kosong. Setelah menginap di beberapa hostel lain setelahnya, ternyata tiap hostel ya beda aturan. Beberapa hostel justru menganjurkan kita untuk menempati kasur mana saja yang kosong apabila kasur kita sudah ditempati orang lain. So, memang better nanya dulu ke resepsionisnya. Apapun itu, bangunin tamu dengan kassar itu gak dibenarkan sih, saya ga bakal lupa dengan kebarbaran si mba2 resepsionis saat bangunin saya.

  7. Salah nunggu bus di Prague
    Another pengalaman pahit bersama Flixbus. Flixbus adalah moda favorit para backpacker karena murah, namun karna negara2 Eropa lebih mengutamakan kereta untuk transportasi antar kota dan antar negara tempat pemberhentian Flixbus pun seringkali membingungkan. Pengalaman ketinggalan bus karna salah tempat menunggu Flixbus bukan pengalaman pertama buat saya. Naasnya, saat itu saya sudah berada di lokasi yang benar namun menunggu di arah yang salah yaitu di seberangnya. Kondisi jalan raya pun menyulitkan untuk pejalan kaki bebas menyebrang jalan, melainkan harus melalui underpass terlebih dahulu. Setelah menunggu lebih dari 1 jam akhirnya baru sadar kalau di aplikasi sudah diperingatkan bahwa spot menunggu ada 2, jangan sampai tertukar. Lagi-lagi karna kurang baca akhirnya saya stuck di Prague 1 malam lagi dan harus keluar uang lagi untuk beli tiket hostel dan tiket bus yang baru.

  8. Diperiksa polisi jerman
    Kekhawatiran tiap kali pindah negara akhirnya terjadi juga dalam perjalanan kereta dari Salzburg ke Munchen. Border check dilakukan oleh 2 polisi jerman yang naik ke kereta dan minta penumpang menunjukkan travel dokumen mereka. Setelah menunjukkan SPLP petugas tersebut fokus ke hapenya, cek data di sistem. Beberapa pertanyaan diajukan, kenapa ga ada visa di passport saya. Setelah saya jelaskan saya kemalingan dan pasport saya hilang, mereka minta surat keterangan hilang dari kepolisian. Saya juga tunjukkan photo copy visa saya. Setelah jawab beberapa pertanyaan akhirnya mereka izinkan saya melanjutkan perjalanan. Legaaaaa banget rasanya. Namun, perasaan tidak tenang, takut diperiksa, nervous, itu tetap saya alami ketika saya pindah negara, meskipun saya tau saya tidak punya alasan untuk takut karna status saya legal.

  9. Naik bus salah arah
    Yak, selama euro trip ini bukan 1-2x aja naik bus salah arah, dan bukan naik bus aja yang salah arah tapi berkali2 jalan salah arah pun juga dialami. Perjalanan ini memang makin menegaskan kalau spasial saya memang payah, dan itu tidak apa-apa, hahaha.

  10. Sakit kepala di Jungfraujoch dan ga bisa hiking di grindelwald
    Salah satu drama yang paling naas adalah saat di Jungfrau, tempat wisata paling mahal yang pernah saya kunjungin seumur hidup. Dengan prinsip uang bisa dicari lagi tapi pengalaman gak bisa dibeli, maka impulsif lah saya beli tiket kesana di h-1. Naasnya adalah saat disana, saya malah mengalami sakit kepala hebat yang mana setelah saya cari tau hal itu dialami oleh beberapa orang dikarenakan altitude sickness. Dengan ketinggian 3,463 dan dikeliling salju abadi ternyata gak cocok sama si anak tropis ini, jadilah selama saya disana gak terlalu menikmati, ditambah cuaca juga yang cukup berawan. Tapi untungnya (lagi2 untung) sempet foto saat langitnya terlihat sedikit biru. Sakit kepala saya terus berlanjut bahkan setelah makan siang di Grindelwald, yang akhirnya membuat saya ingin segera balik ke hotel dan istirahat.

  11. The worst series of events
    Kalau ditanya worst experience selama Euro trip pasti saat kehilangan passpor ya? Nope. The worst experience adalah berupa serangkaian peristiwa yang terjadi bertubi-tubi selama 2 hari. Awal kesialan itu dimulai dari hujan seharian yang membuat saya ga bisa explore Interlaken sama sekali. Yep, selama 3 hari di Swiss, yang mana merupakan main bucket list saya selama euro trip ini, justru saya kehilangan 1 hari full karena hujan, dan hari lainnya karena sakit kepala. Setelah hujan seharian, saya pun harus mengikhlaskan diri karena harus mengejar kereta ke Milan. Kereta yang saya tumpangi itu delay selama 40 menit dan itu berdampak ke akomodasi saya karena hostel saya tidak mengizinkan check in di atas jam 10.30 sedangkan saat itu saya sampai di hostel jam 10.50 malam. Kondisi di hostel sudah ditutup, pagar terkunci, dan yappp, akhirnya saya dan teman saya terlunta2 tidak ada tempat istirahat. Untungnya disini saya tidak sendiri, atau justru saya pengennya sendiri? Niat hati kembali ke stasiun dan tidur di sana tapi ternyata di Italia stasiun tidak dibuka 24 jam, tepat jam 1 pagi kami diusir dari stasiun dan kami pun mencari tempat makan yang buka 24 jam, yang mana tidak ada. Akhirnya kami ke McD sampai jam 3 pagi dan kembali ke stasiun hanya untuk menemukan bahwa stasiun dibuka jam 4 pagi namun hanya orang yang punya tiket yang diizinkan masuk. Ohhh, saya lupa menyebutkan bahwa selama kejadian ini berlangsung kami tidak ada internet, jadi kami harus mencari2 spot free wifi untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari stasiun akhirnya kami jalan tanpa tau arah sampai akhirnya kami berhenti di sebuah bangku di pinggir jalan dan mengistirahatkan badan kami disana sampai hari terang dan orang berlalu-lalang. Kenapa kami gak istirahat di depan stasiun saja? Karena banyak sekali homeless, di depan stasiun, bau pesing, dan kami merasa tidak aman. Yep, saya cukup kaget mengetahui ternyata di Italia, khususnya di Milan yang mana kota mode dunia, banyak sekali homeless yang sepertinya sebagian besar adalah imigran. 

  12. Mengurus administrasi beasiswa
    Ibaratnya lagi jalan-jalan harus tetap kerja. Saat itu saya harus apply living allowance untuk beasiswa saya sedangkan saya gak bawa laptop. Untungnya saya nginep di CS di Budapest saat itu, dan host saya meminjamkan laptopnya untuk apply LA tersebut. Saya kira semua sudah beres sampai 2 minggu kemudian dibilang LA saya tidak disetujui karna kurang persyaratan. Saat itu saya di Swiss dan semua serba mahal. Coba cari-cari di gmaps pun saya gak nemu internet cafe di sekitar hostel saya. Saat udah hampir putus asa dan merelakan LA tersebut, saya tanya landlord hostel tempat saya menginap dan Alhamdulillah ternyata hostel tersebut menyediakan PC lengkap dengan internet dan printernya secara gratis.

  13. Berantem sama travel mate
    Memang benar bahwa traveling bisa bikin karakter asli seseorang terlihat. Saat saya sedang mengalami the worst series of events di poin 11, saya dan travelmate saya akhirnya berantem. Setelah mendinginkan suasana dan berhasil melewati malam penuh ketidakjelasan itu, paginya berantem lagi dan akhirnya kami split. Sore harinya saat kami sudah kembali ke hotel akhirnya kami bicara heart to heart dan reconcile. Ada momen tertentu dimana saya berharap lebih baik sendirian dibanding bersama travel mate.
Dari series of drama ini poin yang saya ambil adalah perjalanan yang tidak sesuai rencana dan banyak masalah, justru yang paling banyak memberikan pelajaran. Apakah saya kapok? Tentu tidak. Justru makin menguatkan cinta saya terhadap traveling! 

Saturday, December 3, 2022

Black Poetry Research

Saya gak pernah merasa bahwa saya pencipta puisi yang hebat, saya juga bukan penikmat puisi. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa sesekali saya suka puisi, khususnya ketika hati sedang rapuh dan melankolis, hehe.

Ada yang menarik di kelas Contemporary Research Theories and Methodologies, dosen saya saat itu mengajak kami untuk praktek langsung dalam pengumpulan data tapi melalui metody yang disebutnya Black-Poetry. Saat itu kami diberikan 1 artikel yang isinya kata-kata sambutan dari anggota Menteri Pendidikan Scotland yang baru terpiilh. Kami diberikan waktu 5 menit untuk baca artikel tersebut, kemudian menuliskan apa yang kami rasakan saat membaca artikel tersebut, kemudian kami diminta meng-highlight kata-kata yang kami anggap menarik. Berikutnya dosen memberi waktu 25 menit untuk kami menutupi kata2 dengan spidol hitam, selain dari kata-kata yang sudah kami highlight. Entah karena language barrier atau instruksi yang kurang jelas, saya malah pikirnya kami disuruh membuat puisi dari kata-kata yang dihighlight sebelumnya.

Kata-kata yang saya highlight dari artikel tersebut adalah: "excellence and equity", "fairer funding for our schools and empowered teachers who have the space and time to deliver", "improving Scottish education".
Konteks dari artikel ini adalah tentang apa yang saya rasakan, dan saat itu saya merasa skeptis bahwa perkataan tersebut hanya janji manis yang lain dari politisi. Di sisi lain saya pun bertanya-tanya apakah di Scotland jabatan di Kementerian sama seperti di Indonesia yang memang diisi oleh politisi (mayoritas para petingginya). So, mix feeling, antara sceptical dan hope, yang saya rasakan ini saya tuangkan ke dalam bentuk puisi 3 paragraf.

Entah kenapa saat itu saya pun lancar aja buat puisi, dan ketika diminta volunter saya tunjuk tangan, ya saya pikir udah capek2 dan saya puas dengan karya saya, kenapa tidak dishare ke yang lain. Surprisingly, dosen saya pun suka banget dan bahkan bilang somehow mau nangis dengernya. Well, here you go the poem I wrote in that class.

Winter, Spring, and Hope

People come and go
So does the seasons
We have winter, spring, summer, and falls
From the falls, we learn
That there is beauty in letting go
But, what about hope?
Should we let go our hope?
Our hope to have a better, fairer education...

            People come and go
            They bring promises, passion, hope
            Then, the winter is coming
            That is scepticism
            Do they really mean it this time?
            Do the teacher truly be empowered this time?
            What about the marginal kids?
            Do they really get fairer funding?

People come and go
So does the seasons
After all, the world is moving on
We, have to moving on
We can bring the winter with us
Or maybe that person come with the spring
When hope is blooming once again

Tuesday, November 22, 2022

Narasi Akomodasi

Alhamdulillah, setelah 2,5 bulan menumpang hidup di flat teman dengan kondisi yang seadanya dan bisa dikatakan tidak nyaman, akhirnya saya punya space sendiri, ruangan sendiri!

Perkara akomodasi ini adalah krisis yang dialami bukan hanya oleh saya tapi banyak orang di kampus-kampus UK, tapi University of Glasgow bisa dibilang yang paling parah. Ada 2 alasan kenapa krisis ini terjadi

  1. Tahun ini adalah tahun pertama dimana kampus membuka kelas offline sepenuhnya, setelah 2 tahun pandemi.
  2. Kampus menerima jumlah siswa yang lebih banyak dibanding tahun sebelumnya sedangkan akomodasi yang disediakan kampus tidak mampu menampungnya.
So, yeah, saya termasuk yang kena dampak dari krisis ini. Bahkan saking parahnya, saya sempat nyesal enrolled di tahun ini, kalau tau saya bakal terlunta2 gini saya lebih baik deferred, itu pikir saya saat itu.

Kok bisa ga dapet tempat berbulan-bulan? Emang gak cari sejak di Indonesia? No, saya udah cari akomodasi sejak saya masih di Indonesia, tapi ya emang ga dapet aja. Saya cari akomodasi dari berbagai platform sebut saja Spareroom, Gumtree, Rightmove, nanya sana-sini teman yang ada kenalan di Glasgow. Ikhtiar saya termasuk menghubungi Irfan, adiknya Azmi yang tahun sebelumnya student exchange ke Glasgow. Irfan kasih saya kontak landlady tempat tinggalnya saat itu, mam Sindy namanya. Saat itu berasa dapat angin segar karna h-2 keberangkatan mam Sindy bilang ada tempat kosong di tempatnya, tapiiii karna saya sempat gak angkat teleponnya, mam Sindy pikir saya ga jadi akhirnya dikasih ke orang lain lah kamarnya itu.

Awal tiba di Glasgow saya pun numpang di tempat mas Ardi sambil cari2 flat sendiri. Flat mas Ardi ini isinya adalah 3 orang Indonesia, Mas Ardi, Mas Herman, Mas Idham. Nah, karena mas Idham baru dateng bulan Oktober akhirnya saya nempatin kamar beliau dulu. Proses pencarian akomodasi akhirnya membuahkan hasil di hari ke-7, berkat akun premium Spareroom. Seneng banget rasanya waktu akhirnya dapet flat itu, karena memang udah stress banget, sampe sakit selama seminggu pertama tiba di Glasgow. 

Flat ini letaknya di Dyke Road, lumayan jauh dari kampus sekitar 30 menit naik bus dengan biaya sewa £650 / bulan. Saya suka banget sama flatnya karna baru direnovasi, bersih, dan sudah lengkap bahkan kasurnya sudah dilengkapi duvet yang bagus. Kamar saya saat itu adalah ruang tamu yang disulap jadi kamar, jadi paling besar dibanding kamar lainnya. Flat mates saat itu adalah 1 orang Mesir dan 1 orang Palestina, orangnya asik dan saya udah kebayang mau minta ajarin bahasa Arab ke mereka nantinya. Kekurangannya saat itu adalah kontraknya minimal harus 1 tahun, agak mahal dan agak jauh dari kampus, tapi karena saya pikir gak ada pilihan lain saat itu yaudah saya ambil. 

Hari pindahan pun tiba, setelah dorong2 koper segede gaban melewati city center, saya pun ambil uang cash dengan biaya kurs sangat tinggi yang bikin saya rugi besar. Landlord saya saat itu minta pembayaran cash, tidak bisa transfer. Tibalah saya di flat, ngobrol-ngobrol dengan flatmate, dan tepat saat saya mau unpacking barang tiba2 mam Sindy telpon dan bilang ada 1 ruangan kosong di kamarnya. Saya pun kasih tau beliau kalau saya baru saja pindah dan sedang unpacking barang saya. Namun, karena penasaran saya tanya lah biaya sewa di tempat mam Sindy berapa, ternyata di tempat beliau biaya sewanya £430/bulan, dan lokasinya dekat sekali dengan kampus! Saya yang sudah tergoda, langsung menelpon landlord saya untuk cancel flat yang baru saya tempati kurang dari sejam ini. Setelah saya jelaskan di telpon kalau saya mau cancel, sempat diomelin dulu, tapi Alhamdulillah landlord setuju dan mengembalikan semua deposit yang saya baru saja kasih.

Selesai packing kembali, saya pun keluar dari flat ini dan berniat ke tempat mam Sindy, but hey! Karma terjadi, hahaha. Tidak sampai 10 langkah dari flat, mam Sindy chat saya lagi dan bilang ternyata orang yang sewa kamar di rumahnya tidak jadi keluar! Gondok banget lah saya saat itu, udah pindahan, diomelin karna ga jadi, bawa barang gede, rugi kurs, terus sekarang jadi homeless lagi karena kamarnya diambil orang. Kecewa dan kesel banget sama mam Sindy saat itu, minta tolong beliau bantu cariin saya flat pengganti karna beliau lah yang bikin saya homeless.

Sementara cari flat pengganti, saya pun balik ke tempat Mas Ardi. Namun, karena mas Idham udah dateng saya pun akhirnya numpang di kamar mas Herman. Selama sebulan saya tidur sekasur berdua dengan beliau dengan skema biaya sewa kamar dibagi 2 jadi masing2 bayar £270/bulan belum termasuk bills. Sebulan berlalu saya belum dapet flat juga, dan karena udah kelamaan numpang di kamar mas Herman akhirnya saya pindah ke ruang tamu dan tidur di sofa mulai bulan November dengan biaya sewa £240/bulan belum termasuk bills. Ternyata tidur di sofa itu pegel, bikin saya tersadar kalau saya sudah tua, setiap bangun pagi punggung rasanya sakit.

Masuk bulan November kabar baik pun tiba, mam Sindy akhirnya telpon lagi dan bilang ada 1 kamar kosong. Keesokan harinya saya langsung datang ke flat dan kasih deposit supaya ga diambil sama orang lain. Namun saya harus bersabar karena orang yang sewa kamar tersebut baru keluar tanggal 20 jadilah saya tidur di sofa itu selama 20 hari. 

Hari ini, 21 November, setelah 2,5 bulan gak punya kamar sendiri akhirnya saya dapat kamar yang mungkin tidak bisa dibilang sempurna tapi ini adalah yang terbaik yang bisa saya temukan. Kenapa? Karena murah, luas, hangat, dan dekat sekali dengan kampus. Hanya perlu 7-10 menit jalan kaki ke gedung kampus begitu juga ke tempat Gym, yepp, saya daftar membership Gym sejak bulan lalu. 

Lagi-lagi saya dapat pelajaran dari sini bahwa ya memang apapun yang terjadi memang sudah yang terbaik dari Allah. Dia tau bahwa saya mau hemat, karenanya saya dibikin terlunta-lunta gini, tidak nyaman memang tapi ya akhirnya jadi hemat banget, sampai akhirnya dapet akomodasi yang memang murah. Kuncinya memang ikhlas, saat diri ini sudah ikhlas dan tawakkal disitulah Allah kasih jalan, apapun masalahnya, termasuk dalam mencari akomodasi ini.


with mam Sindy






Saturday, November 19, 2022

Beautiful memories in a beautiful city

Sudah lama saya ingin mengunjungi kota cantik Edinburgh tapi selalu saya tahan karena saya gak mau mengunjunginya hanya 1 hari PP meskipun jarak Glasgow - Edinburgh yang terbilang dekat, mungkin mirip Depok - Bekasi. Selain gak mau sehari, saya juga gak mau sendiri karena saya berencana hiking dan hiking sendirian itu gak enak, trust me.

Edinburgh yang diberi julukan The Athens of The North, adalah ibu kota Scotlandia sejak abad 15 dan merupakan World Heritage UNESCO yang terbagi kedalam 2 wilayah; Old Town dan New Town. Kota medieval yang penuh bangunan historic ini berada di atas gunung vulkanik yang sudah mati, dengan dataran paling tingginya adalah Edinburgh Castle. Well, saya sendiri melihatnya itu bukan kaya kastil melainkan sebuah desa, karena memang kompleks kastilnya besar banget. Sebagai kota wisata, banyak free walking tour yang bisa diikuti, ada Old Town, Harry Potter tour, Ghost Tour. Saya sendiri ikut free walking tour sekitar Old Town dan jadi tau bahwa dulu Edinburgh adalah kota penuh penyakit dan kumuh, dan kebanyakan bangunan yang saat ini berdiri adalah hasil renovasi sejak abad 18. Banyak cerita menarik lainnya dari Ryan, tour guide kami. Saya sangat merekomendasikan ikut free walking tour ini, tinggal daftar secara online.

Secara kebetulan dan tak pernah terpikirkan sebelumnya, Aram, kawan CS (Couch Surfing) saya di Turki mau migrate ke UK dan saat ini sedang ikut tes sertifikasi dokter di sini, jadilah kami merencakan traveling bareng ketemu langsung di Edinburgh. Sebagai sesama CS, tentu kami cari CS supaya ga keluar biaya akomodasi di Edinburgh, tinggallah kami di flat Miko, seorang CS asli Polandia. Miko sempat ajak kami hang out ke tempat temannya dan karokean bareng, disitulah saya merasa tua karena hanya 1 dari 9 orang yang tau lagu yang saya nyanyikan (Simple Plan - Welcome to My Life). Malam kedua kami disana Miko ajak kami nonton bareng di laptop bareng2 flat mates dia yang lain. Selain ketemu Miko, kami juga hang out dengan Josh, CS lain dari US yang baru aja pindah ke Edinburgh selama sebulan. Josh adalah chef yang suka bikin gulai ayam Indonesia, next trip ke Edinburgh rencananya bakal stay sama dia karena Miko pindah ke London dalam waktu dekat.

Setelah seminggu hujan dan angin kencang, hari Sabtu-Minggu saat kami di Edinburgh cuaca begitu bersahabat, dan bertepatan dengan National Remembrance Day sehingga kami berkesempatan liat military parade di kota ini. Cerahnya cuaca disini memungkinkan kami untuk bisa liat sunset saat di Arthur Seat dan di Calton Hill. I can say it was a perfect sunset di Calton Hill, Alhamdulillah!

Traveling is always about the journey, not the destination. It's not always about the place but with who you travel with, itulah pentingnya nemuin travel mate yang 1 frekuensi, dan si Aram ini salah satunya. Ternyata gaya traveling berubah seiring pertambahan usia. Saat usia awal 20-an tiap traveling saya mau visit ke banyak tempat dalam 1 hari, klo bisa lebih dari 5 lokasi, ambisius memang. Beda saat saya memasuki generasi 3.0 dimana traveling yang asik adalah traveling yang selow, kunjungin 2-3 tempat dalam sehari pun udah cukup supaya bisa menikmati setiap momennya. Hari pertama saya hanya keliling Old Town bersama rombongan free walking tour, setelahnya ke Arthur Seat. Hari kedua, kami hanya ke Castle, Botanical Garden, dan Calton Hill. Kebanyakan dari trip ini adalah jalan kaki, ngobrol, dan bengong nikmatin me time masing-masing saat kecapekan ngomong.

Banyak tempat yang belum saya kunjungi di kota cantik ini karena memang saya akan kembali kesini lagi, mengunjungi tempat lainnya yang penuh sejarah. Musim panas adalah saat terbaik untuk mengunjungi Edinburgh, tapi harus siap dengan biaya akomodasi yang lebih mahal, well, kecuali klo mau tinggal sama CS seperti saya.

Saat pulang dari Edinburgh temen nanya, gimana Edin? What I can say, it was a perfect trip! So happy akhirnya bisa ngunjungin kota cantik ini dengan travel mate yang juga sefrekuensi.

with Nuri yang ubah namanya jadi Aram, my fellow Kurdish guy


Sunday, July 10, 2022

My Scholarship's Journey

 5 kata paling dinanti sejak 2018, "SELAMAT ANDA TELAH LULUS SELEKSI SUBSTANSI"


Man shabara zhafira, barang siapa bersabar, beruntunglah dia.

Tulisan ini didedikasikan untuk diriku sendiri, terima kasih karena terus bersabar dan berjuang sampai akhirnya kita berhasil mendapatkan apa yang kita impikan sejak lama, setelah 9x percobaan. I'm proud of you, Fajrie Nuary.

Kisah ini dimulai sejak 2017 akhir saat diri ini berada di titik terendahnya, bahkan saat itu saya merasa sedang mengalami depresi. Saya membuat tulisan khusus tentang hal tersebut di sini.

Sebagai ikhtiar mencari distraction supaya saya bisa bangkit dan kembali bersemangat, saya mulai mengingat kembali mimpi saya untuk sekolah di luar negeri. Saya fokus persiapan IELTS dan mulai research berbagai scholarship yang cocok untuk saya. Setelah mendapat hasil IELTS di 18 Januari 2018 dengan hasil di atas prediksi saya yaitu 7,5 saya pun mulai apply scholarship pertama saya, LPDP, di bulan September. Saya gagal di tahap Seleksi Berbasis Komputer, bukan karena saya gak belajar tapi karena memang kecerdasan logis-matematis saya tidak sebaik kecerdasan kinestetik saya.

Gagal LPDP saya lanjut apply Chevening di bulan November. Saat itu saya dibantu Kak Pipit untuk membuat essay, yang saya submit di hari terakhir pendaftaran jam 1.30 dini hari. Saat itu saya tertolong karena deadline pendaftaran diundur 3 hari. Essay saya lolos tapi sikap procrastinator saya untuk mendapatkan rekomendasi membuat saya gagal dipanggil untuk wawancara.

Tahun berganti, saya pun melanjutkan perjuangan saya dengan mendaftar beasiswa Erasmus Mundus di bulan Februari 2019. Beasiswa ini prosesnya sangat simpel, hanya membuat essay tanpa interview. Saat itu saya sangat amat ingin beasiswa ini karena berpindah2 negara. Pengumuman di bulan April menyatakan bahwa saya masuk reserved list, yang baru akan berangkat jika statusnya berubah jadi main list. Setelah digantung beberapa minggu, jelaslah sudah bahwa status saya tidak berubah dan saya gagal beasiswa ini. 

Kesedihan saya yang teramat sangat bahkan sempat mengguncang iman saya, saya sampai trauma berdoa, karna merasa doa saya tak kunjung dikabulkan. Saya menuliskan kekecewaan saya di sini yang akhirnya jadi postingan terakhir saya tentang beasiswa. Untuk mencari distraction, saya gak mau berlama-lama sedih dan langsung mulai apply AAS di hari yang sama saya dapat pengumuman Erasmus. Beasiswa ini sepertinya memang lebih segmented & targeted, saya bahkan gak lulus di tahap administrasi.

Tahun 2019 ditutup dengan percobaan ke-5 saya mencari beasiswa di bulan Mei, kali ini melalui LPDP untuk kedua kalinya. Setelah belajar lebih giat, saya berhasil lulus SBK namun saya gagal di proses interview. Setelah saya sadari dan bandingkan dengan usaha saya saat saya lulus sekarang, ternyata memang usaha saya saat itu masih sangat minim, jawaban saya masih sangat naive, dan rencana kontribusi saya sangat lemah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saat itu saya merasa sudah cukup berjuangnya, mental saya sudah sangat jatuh, saya lelah secara batin. Saya putuskan bahwa saya memang tidak ditakdirkan untuk S2 di luar negeri, lebih baik saya fokus membangun karir saya.

Tahun 2020 saya tidak mendaftar beasiswa sama sekali. Hal ini dikarenakan beberapa faktor; (1) saya sudah mulai berdamai dengan diri sendiri bahwa saya memang tidak ditakdirkan untuk S2 di luar negeri, (2) saya mendapat peran baru sebagai Branch Head di Medan yang membuat saya harus sangat fokus pada pekerjaan saya, (3) terjadi pandemi dan LPDP tidak membuka pendaftaran di tahun tersebut.

"Mimpi itu tidak mati, ia hanya mati suri. Akan ada saatnya di masa depan, mimpi itu muncul lagi."

Tahun 2021 saya mulai kembali berjuang, saya tidak mau mimpi saya untuk S2 di luar negeri kelak menghantui saya di masa depan, menyesal karena saya tidak memaksimalkan usaha saya sampai benar2 tidak ada kesempatan lagi. Saya tes IELTS di bulan Mei dan mendapat skor yang persis sama dengan skor IELTS saya 2 tahun lalu. Saya daftar LPDP untuk ke-3 kalinya di bulan Juni dan lagi-lagi harus tertahan langkahnya di SBK yang namanya kini berubah jadi Seleksi Substansi Akademik. Bukan saya tidak belajar, tapi memang soalnya jauh lebih susah. Soal yang keluar adalah seperti soal UTBK/SPMB yang bikin saya cukup emosi mengingat saya daftar beasiswa untuk ilmu sosial bukan ilmu eksak. Tes ini diadakan secara online karena masih pandemik, dan saya dengan bodohnya mengerjakan di kantor. Saat sedang asik mengerjakan, ada yang mengetuk-ngetuk pintu ruangan saya karena mau ambil proyektor. Sudahlah soal susah, konsentrasi dibuat makin buyar karena orang ketuk-ketuk pintu berulang kali. Failed, totally failed.

Belajar dari kegagalan sebelumnya, saya persiapan lebih serius lagi kali ini. Sumber belajar saya bukan hanya dari 1 buku tapi 3, ditambah soal-soal dan pembahasan dari youtube. Setiap hari belajar minimal 2 jam selama 2 minggu, dan bangun malam untuk latihan soal pun rutin saya lakukan. Saya pun sengaja ambil cuti supaya saya bisa konsentrasi tanpa gangguan saat mengerjakan soal nanti. Semua effort itu ternyata masih gagal mengantarkan saya ke tahap berikutnya, yepp, saya gagal di Seleksi Substansi Akademik lagi. Lagi-lagi kesabaran saya diuji kali ini. Saya tidak mau menyalahkan diri saya karena saya kenal betul diri saya yang memang kurang dalam hal logis-matematis. Lelah, mental dan hati saya mulai merasa lelah dan seakan memanggil trauma kegagalan2 sebelumnya.

Tak mau lama-lama bersedih, saya langsung menyiapkan essay untuk apply Chevening di bulan Oktober. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kondisi saya saat itu masih belum baik-baik saja karena kegagalan LPDP. Saat saya minta review essay, saya kena mental dan akhirnya memutuskan untuk tidak 100% mengeluarkan effort saya. Essay yang saya submit pun akhirnya tidak banyak berbeda isinya dengan essay saya 2 tahun lalu. Hasilnya keluar di bulan Februari, tentu seperti yang sudah saya prediksi, hasilnya menyatakan saya tidak lulus di tahap essay, suatu kemunduran jika dibandingkan dengan proses saya 2 tahun lalu.

Usaha ke-9 saya dalam mencari beasiswa adalah dengan apply LPDP di bulan Maret. Sebelumnya, saya sudah mendapatkan LoA Unconditional (Letter of Acceptance) dari University of Glasgow di bulan November 2021. Oleh karena saya sudah ada LoA, saya pun daftar melalui jalur LoA. Seleksi Akademik yang selama ini jadi momok membuat saya super cemas, sejujurnya saya tidak tau harus belajar seperti apa lagi. Saya merasa belajar saya sudah maksimal tahun lalu, tapi masih saja gagal. Kecemasan saya hilang seketika saat saya menerima email dari LPDP yang menyatakan bahwa saya tidak perlu ikut Seleksi Akademik karena saya sudah ada LoA Unconditional. Alhamdulillah, saya senang bukan main! Saat itu saya merasa Allah baik banget sama saya, hati kecil saya mengatakan bahwa mungkin inilah saatnya, Allah memudahkan jalannya karena ini adalah saat yang dipilih Allah. Tapi tentu saya tidak mau jumawa dulu, saya terus bersyukur dan kembali fokus untuk persiapan tahap berikutnya.

Tidak mau gagal seperti tahun 2019 saya pun meningkatkan usaha saya dengan join ke grup Telegram sesama pendaftar LPDP, join Discord untuk minta simulasi/mock interview dengan awardee batch sebelumnya, dan tentu memperkaya referensi dengan banyak menonton youtube awardee sebelumnya. Mock interview ini adalah yang paling impactful menurut saya, sangat membantu saya mengetahui apa yang kurang dan sudah bagus dari jawaban-jawaban saya. Terhitung sampai 3x saya mock interview dan insight yang saya dapatkan sangat on point, langsung saya implementasi saat interview saya yang sebenarnya.

Hari interview pun tiba, setelah menunggu 2 jam 15 menit dari jadwal dimulailah interview saya dengan 3 interviewer, total durasi interview kira-kira 45-50 menit. Tidak seperti yang lain, interview saya 100% english. Pertanyaan demi pertanyaan saya jawab dengan cukup baik, kecuali 1 mengenai rencana after study yang membuat saya insecure dengan jawaban saya karena terlihat saya tidak jelas menjawabnya. Hal ini sukses membuat saya overthinking selama 3 minggu menjelang pengumuman.

4 Juli 2022 pukul 19.34

Video speaks louder than words, here is my reaction ketika akhirnya perjuangan dari tahun 2018, 8x gagal dan akhirnya berhasil di percobaan ke-9. 

Banyak hikmah yang akhirnya membuat diri ini sadar bahwa memang Timeline dari Allah adalah yang terbaik, selalu seperti itu. Apa aja sih hikmahnya:

  • Kalau saya lulus tahun 2019 waktu itu, saya melewatkan 2 kesempatan dan pencapaian, yaitu (1) menjadi Branch Head dan (2) menjadi pemenang Global MVP 2020. Alhamdulillah, saya tidak lulus dan akhirnya mendapat 2 kesempatan tersebut.
  • Kenapa saya tidak lulus tahun 2021 kemarin? Karena Allah ingin saya mewujudkan impian saya sejak awal jadi Branch Head Medan, yaitu membawa Medan jadi Branch terbaik Nasional. Alhamdulillah, saya berhasil mewujudkannya di Tahun 2021 kemarin, Medan-Pekanbaru jadi Branch Terbaik Nasional.
  • Kenapa tahun 2022 ini? Agar saya bisa menyiapkan successor di tim saya untuk menggantikan peran saya sebagai Branch Head, yang mana lagi2 ini adalah visi saya ketika awal saya menjadi BH di Medan, yaitu ingin melahirkan Branch Head yang asli dari Medan, tidak lagi dari Jakarta. Selama 2 tahun ini pun saya terus develop kandidat saya ini untuk menggantikan saya, sehingga ketika saya pergi saya tidak meninggalkan masalah di belakang, justru ini sangat bagus untuk successor saya yang akhirnya mendapat kesempatan besar untuk belajar mengasah managerial skillsnya.
Dari sini saya belajar, bahwa saya memang orang yang keras kepala jika sudah memiliki 1 kemauan, contohnya adalah perjuangan untuk S2 di luar negeri ini. Terima kasih Fajrie Nuary, kamu tidak menyerah meski banyak yang meminta kamu berhenti, mungkin mereka pun gak tega melihat kamu yang terus gagal. Terima kasih untuk determinasinya, profesionalitasnya untuk menjaga performance terbaik meski sedang menyiapkan S2 ini tapi kamu tetap bisa membawa Medan-Pku jadi yang terbaik.

Saya jadi teringat pertanyaan saat wawancara kemarin, "coba bayangkan Anda sedang berada di atas panggung, dan Anda diminta menyampaikan speech mengenai hal yang ingin Anda ubah dalam kehidupan Anda", saat itu kurang lebih jawaban saya adalah "Saya tidak ingin mengubah apapun dalam diri saya, proses untuk menjadi Fajrie Nuary versi saat ini sangatlah panjang, dan saya yakin segala kejadian baik itu positif maupun negatif, itulah yang membentuk diri saya sekarang."

Perjalanan beasiswaku:
2018
- LPDP
- Chevening

2019
- Erasmus
- AAS
- LPDP

2021
- LPDP
- LPDP
- Chevening

2022
- LPDP

So, yeah, saya bersyukur atas segala kejadian yang menimpa diri saya, segala kegagalan yang mampir di kehidupan saya, segala kesuksesan yang berhasil mengguratkan senyuman di wajah saya. Saya sepenuhnya sadar bahwa segala emosi adalah temporer, termasuk emosi bahagia ini. Saya tidak bisa berharap bahwa saya akan bahagia selamanya, dan saya tidak perlu khawatir saat saya berada dalam kesedihan nanti, karena kesedihan itu pun tidak akan selamanya. 

This is just a new beginning, Fajrie. Let's achieve more, grateful more, and do good even more! 
Glasgow, I'm coming! 😊

Tuesday, September 24, 2019

I don't know what love is, until...

Aku adalah orang egois yang cinta kebebasan.
Aku sering berpikir, apa aku bisa jadi laki-laki yang rela meminta maaf meski tidak melakukan kesalahan.
Apa aku rela meladeni sikap manja dan drama perempuan.
Apa aku akan ketemu orang yang membuatku ingin memperjuangkannya, mengeluarkan versi terbaik dari diriku.
Sepertinya waktu tersebut gak akan datang.
Sampai tiba-tiba di saat ku pulang kerja, bayanganmu terus menghantuiku saat ku asyik berkendara.
Bayangan liar penuh kebahagiaan dikala kita menjalin cinta.
Entah kenapa saat itu aku berpikir, sepertinya aku layak mendapat kesempatan untuk mencintai dan dicintai. Aku akan memberi kesempatan kepada diriku sendiri untuk membuka hatiku, meski ada resiko untuk terluka.
Aku ingin memperjuangkan, mengalah, terlibat dalam drama, selama itu bersamamu.
Lagu demi lagu yang penuh cinta kerap kuputar, dan selalu dirimu yang kubayangkan.
Ah, andai ku punya keberanian untuk memulai percakapan...

Tuesday, April 16, 2019

I never feel broken heart, I barely feel betrayed, but now I feel it, and it's hurt.

So last night, in a peaceful night, I whatsap my friends, just a casual talk as usual. At some point I did mention to her, hopefully I can take you to do Glasgow tour early next year, AMIN! *i was that "gak santai"

Another friend asked me "are you high or something" due to my lebay response toward his whatsap. I replied, "i'm stress, counting down the announcement day". And you know what, right after I replied that whatsap I received email, from Erasmus!

I panicked, I was shaking and keeping my zikr so Allah will strengthen me no matter what the result was. After I can control my body, I opened the email. I went through to the bottom and saw "meeting you in person", I gasped, I thought it would be a good sign but I was wrong. When I reread the email, it was actually a rejection letter, again. Yep, that was the 3rd time I've been rejected. However, the email mentioned that my name was put in the reserve list, so there might be an opportunity, the final result will be announced by mid of May. But hey, siapa juga orang yang mau nolak beasiswa Erasmus Mundus, daftarnya aja udah susah.

How did I feel? I felt betrayed, disappoint, sad, angry, you name it. After 5-10 mins breakdown I was numb, I stood up, open my laptop and started to fill the application for Australia Awards Scholarship. I am not really sure if I want to apply another scholarship, but I think that's my way to get distracted from my sorrow, by keeping myself busy. And now, here I am, 9 PM still busy with my work at the office. I pull myself out from people, I even uninstall my whatsapp, I didn't tell anyone but my best friend about this, and I hope he doesn't say anything to anyone. This is me, trying to cope with my sorrow by dissolve in my sorrow. I remember he asked me about this one day, "how would you feel if the result is not as you expected?". "I'll get devastated", I said. Well, it happens now.