Banyak hal yang bikin saya hobi traveling, salah satunya adalah banyaknya pelajaran yang bisa diambil dari sebuah perjalanan. Bulan Agustus, tepatnya tanggal 16 Agustus saya memulai Euro trip saya yang berakhir di tanggal 23 September, yeppp, sekitar 40 hari keliling Eropa dengan gaya flashpacker yang lebih mirip "mengintip" daripada mengeksplorasi daerah yang dikunjungi. Selama perjalanan tersebut ada periode saya sendiri, dan ada juga yang ditemani seorang teman perjalanan, kurang lebih perbandingannya 50:50. Perjalanan ini adalah mimpi yang tertunda, tahun 2020 saya gagal ke Eropa karena COVID, sudah ada Visa dan seminggu sebelum berangkat canceled karna border lockdown. Dalam kurun waktu 40 hari tersebut saya mengunjungi 13 negara, dan dipostingin ini saya hanya akan fokus pada 13 drama yang terjadi selama perjalanan tersebut. Here we go!
- E-sim yang tidak terpakai
Sebelum berangkat, saya research cara termurah untuk bisa internetan di Eropa yang mana jawabannya adalah dengan beli e-sim. Tergoda dengan harga yang murah, langsung beli lah saya e-sim dengan harga 10 USD. Sesampainya di Belanda, saya coba aktifkan e-sim saya yang ternyata tidak berhasil. Setelah coba konsultasi dengan teman saya di sana, ternyata hape saya gak compatible untuk e-sim, dang! Researchnya kurang dalem ya, jri, akibat mau cari yang murah aja. Jadilah 10 USD terbuang sia-sia. - Tidur di berbagai tempat mulai dari stasiun, airport, sampai di bangku pinggir jalan
Lagi-lagi akibat mau cari yang murah, saya beli tiket bus malam dari Amsterdam yang tiba di Bruges jam 2 malam. Saya membeli tiket untuk seluruh transportasi saya selama euro trip pada saat puncak summer, yang mana jam 5 pagi sudah terang, jadi saya pikir tak apalah tidur di stasiun toh cuma sebentar, setelah terang saya bisa mulai explore daerah tersebut. Bodohnya saya tidak memperhitungkan bahwa trip saya yang sesungguhnya adalah akhir Agustus yang mana jam 5 masih gelap. Bukan hanya itu, saat research saya menemukan ada shop yang buka 24 jam, yang ternyata saat itu tidak ada, bahkan stasiunnya pun ditutup. Jadilah saya duduk selonjoran di depan pintu stasiun seperti tunawisma, sampai stasiunnya buka jam 4 pagi dan saya pindah ke dalam, tertidur sambil posisi terduduk. Tertidur dengan posisi duduk berjam-jam juga saya alami di Rome Airport karena mengejar morning flight. - Paspor hilang
Yep, tragedi pertama dimulai di Barcelona saat saya kemalingan tas kecil saya di McD. Salah saya juga sih yang ceroboh tarok tas di bangku saat saya pesan makanan. Untungnya, (orang Indo di berbagai situasi sulit sekalipun masih bilang untung), saat itu saya ambil dompet saya karna mau bayar. Naasnya, meski ga banyak isinya, di tas kecil saya itu ada passport, dan itu terjadi 4 jam sebelum penerbangan saya ke Rome! 5 menit setelah saya kehilangan tas, ada pengunjung lain yang juga dicuri tasnya di McD yang sama. Mencoba tenang di tengah kepanikan, saya ke kantor polisi untuk buat laporan, dan selama 1,5 jam saya di kantor polisi itu ada 6 orang lain yang mengalami peristiwa naas serupa dengan lokasi yang berbeda-beda. So, harus super hati-hati saat di Barcelona karna banyak maling! Akhirnya saya harus merelakan tiket penerbangan saya hangus, saya pun cari hostel di Barcelona untuk mengurus paspor saya yang hilang keesokannya di Indonesian Embassy di Madrid. Alhamdulillah petugas embassy di Madrid sangat koperatif, mereka bahkan melayani saya di hari Sabtu jam 6 sore. Kudos buat bapak2 di embassy! Setelah mendapat SPLP sebagai pengganti paspor, saya pun mulai merenung apakah akan melanjutkan euro trip saya dengan resiko dideportasi karna tidak ada visa di SPLP saya, atau mengikuti aturan dan kembali ke UK karna SPLP seharusnya hanya dipakai 1x perjalanan balik ke negara domisili. Dengan modal nekat, saya pun membeli tiket Madrid-Budapest dan melanjutkan Euro trip saya. Alhasil, setiap kali saya pindah dari satu negara ke negara lain, saya tidak tenang, selalu nervous, deg2an setengah mati takut diperiksa dan dideportasi. - Hampir kena denda 500rb di Budapest
Budapest adalah salah satu kota dimana turis diingatkan berkali2 tentang tiket yang harus divalidasi. Petugas tiket termasuk yang paling sering razia seantero Eropa, beda dengan di Vienna yang mana orang lokal bilang hanya 2x dalam setahun ada petugas yang periksain tiket. Petugas tersebut akan naik ke bus, tram, kereta, untuk cek tiket kita. Saat saya berikan tiket saya, ternyata itu adalah tiket 1x jalan dari airport ke city center. Saya kira itu adalah daily ticket yang memang saya beli untuk 2 hari di Budapest, tapi ternyata bukan. Saya tunjukkan m-banking saya ke petugas untuk membuktikan saya membeli daily ticket, dan petugas dengan santainya bilang "I want you to show the ticket, not the story". Mulai panik, saya cari2 lagi receipt pembelian tiket saya, Alhamdulillah ketemu! Ternyata oh ternyata, 'receipt' itulah si daily ticket, jadi saya yang salah. Saya kira itu receipt, tapi ternyata bukan, itu daily ticket yang seharusnya saya pake dari hari pertama. Fyuhh,, untung selamat. - Gagal berangkat karena gak print ticket
Lagi-lagi karna kurang baca, ternyata tiket kereta saya dari Bratislava-Vienna itu harus diprint, yang mana baru saya sadari saat saya otw ke stasiun. Di stasiun pun tidak ada tempat self-print. Menyusahkan? Yap, memang begitu adanya. Akhirnya saya harus beli tiket bus baru supaya bisa tetap ke Vienna. - Dibangunin kasar di hostel di Poland
Sebagai orang yang lebih sering menggunakan Couch Surfing, pengalaman kedua saya menginap di hostel adalah saat saya di Wroclaw. Betapa terkejutnya saya ketika tengah malam seorang wanita, yang mana resepsionis hostel tersebut, membangunkan saya dengan sangat kasar, dengan menggoyangkan kaki saya sangat keras. Kesalahpahaman terjadi karena saya tidur di kasur dengan nomor berbeda yang diberikan ke saya, yang mana itu terjadi karna ada orang yang sudah nempatin kasur saya. Sebagai orang timur yang ga enakan, saya ga bangunkan orang tersebut, dan ga lapor ke resepsionis, melainkan saya tidur di kasur yang memang kosong. Ternyata hal itu bukan pilihan yang tepat karna akhirnya saya yang dibangunkan dan disuruh pindah ke kasur saya semula. Orang yang tidur di kasur saya pun dibangunkan dan disuruh pindah, tapi dia ngeyel, gak mau pindah. Akhirnya saya mengalah supaya bisa lanjut tidur, pindah ke kasur yang kosong. Setelah menginap di beberapa hostel lain setelahnya, ternyata tiap hostel ya beda aturan. Beberapa hostel justru menganjurkan kita untuk menempati kasur mana saja yang kosong apabila kasur kita sudah ditempati orang lain. So, memang better nanya dulu ke resepsionisnya. Apapun itu, bangunin tamu dengan kassar itu gak dibenarkan sih, saya ga bakal lupa dengan kebarbaran si mba2 resepsionis saat bangunin saya. - Salah nunggu bus di Prague
Another pengalaman pahit bersama Flixbus. Flixbus adalah moda favorit para backpacker karena murah, namun karna negara2 Eropa lebih mengutamakan kereta untuk transportasi antar kota dan antar negara tempat pemberhentian Flixbus pun seringkali membingungkan. Pengalaman ketinggalan bus karna salah tempat menunggu Flixbus bukan pengalaman pertama buat saya. Naasnya, saat itu saya sudah berada di lokasi yang benar namun menunggu di arah yang salah yaitu di seberangnya. Kondisi jalan raya pun menyulitkan untuk pejalan kaki bebas menyebrang jalan, melainkan harus melalui underpass terlebih dahulu. Setelah menunggu lebih dari 1 jam akhirnya baru sadar kalau di aplikasi sudah diperingatkan bahwa spot menunggu ada 2, jangan sampai tertukar. Lagi-lagi karna kurang baca akhirnya saya stuck di Prague 1 malam lagi dan harus keluar uang lagi untuk beli tiket hostel dan tiket bus yang baru. - Diperiksa polisi jerman
Kekhawatiran tiap kali pindah negara akhirnya terjadi juga dalam perjalanan kereta dari Salzburg ke Munchen. Border check dilakukan oleh 2 polisi jerman yang naik ke kereta dan minta penumpang menunjukkan travel dokumen mereka. Setelah menunjukkan SPLP petugas tersebut fokus ke hapenya, cek data di sistem. Beberapa pertanyaan diajukan, kenapa ga ada visa di passport saya. Setelah saya jelaskan saya kemalingan dan pasport saya hilang, mereka minta surat keterangan hilang dari kepolisian. Saya juga tunjukkan photo copy visa saya. Setelah jawab beberapa pertanyaan akhirnya mereka izinkan saya melanjutkan perjalanan. Legaaaaa banget rasanya. Namun, perasaan tidak tenang, takut diperiksa, nervous, itu tetap saya alami ketika saya pindah negara, meskipun saya tau saya tidak punya alasan untuk takut karna status saya legal. - Naik bus salah arah
Yak, selama euro trip ini bukan 1-2x aja naik bus salah arah, dan bukan naik bus aja yang salah arah tapi berkali2 jalan salah arah pun juga dialami. Perjalanan ini memang makin menegaskan kalau spasial saya memang payah, dan itu tidak apa-apa, hahaha. - Sakit kepala di Jungfraujoch dan ga bisa hiking di grindelwald
Salah satu drama yang paling naas adalah saat di Jungfrau, tempat wisata paling mahal yang pernah saya kunjungin seumur hidup. Dengan prinsip uang bisa dicari lagi tapi pengalaman gak bisa dibeli, maka impulsif lah saya beli tiket kesana di h-1. Naasnya adalah saat disana, saya malah mengalami sakit kepala hebat yang mana setelah saya cari tau hal itu dialami oleh beberapa orang dikarenakan altitude sickness. Dengan ketinggian 3,463 dan dikeliling salju abadi ternyata gak cocok sama si anak tropis ini, jadilah selama saya disana gak terlalu menikmati, ditambah cuaca juga yang cukup berawan. Tapi untungnya (lagi2 untung) sempet foto saat langitnya terlihat sedikit biru. Sakit kepala saya terus berlanjut bahkan setelah makan siang di Grindelwald, yang akhirnya membuat saya ingin segera balik ke hotel dan istirahat. - The worst series of events
Kalau ditanya worst experience selama Euro trip pasti saat kehilangan passpor ya? Nope. The worst experience adalah berupa serangkaian peristiwa yang terjadi bertubi-tubi selama 2 hari. Awal kesialan itu dimulai dari hujan seharian yang membuat saya ga bisa explore Interlaken sama sekali. Yep, selama 3 hari di Swiss, yang mana merupakan main bucket list saya selama euro trip ini, justru saya kehilangan 1 hari full karena hujan, dan hari lainnya karena sakit kepala. Setelah hujan seharian, saya pun harus mengikhlaskan diri karena harus mengejar kereta ke Milan. Kereta yang saya tumpangi itu delay selama 40 menit dan itu berdampak ke akomodasi saya karena hostel saya tidak mengizinkan check in di atas jam 10.30 sedangkan saat itu saya sampai di hostel jam 10.50 malam. Kondisi di hostel sudah ditutup, pagar terkunci, dan yappp, akhirnya saya dan teman saya terlunta2 tidak ada tempat istirahat. Untungnya disini saya tidak sendiri, atau justru saya pengennya sendiri? Niat hati kembali ke stasiun dan tidur di sana tapi ternyata di Italia stasiun tidak dibuka 24 jam, tepat jam 1 pagi kami diusir dari stasiun dan kami pun mencari tempat makan yang buka 24 jam, yang mana tidak ada. Akhirnya kami ke McD sampai jam 3 pagi dan kembali ke stasiun hanya untuk menemukan bahwa stasiun dibuka jam 4 pagi namun hanya orang yang punya tiket yang diizinkan masuk. Ohhh, saya lupa menyebutkan bahwa selama kejadian ini berlangsung kami tidak ada internet, jadi kami harus mencari2 spot free wifi untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari stasiun akhirnya kami jalan tanpa tau arah sampai akhirnya kami berhenti di sebuah bangku di pinggir jalan dan mengistirahatkan badan kami disana sampai hari terang dan orang berlalu-lalang. Kenapa kami gak istirahat di depan stasiun saja? Karena banyak sekali homeless, di depan stasiun, bau pesing, dan kami merasa tidak aman. Yep, saya cukup kaget mengetahui ternyata di Italia, khususnya di Milan yang mana kota mode dunia, banyak sekali homeless yang sepertinya sebagian besar adalah imigran. - Mengurus administrasi beasiswa
Ibaratnya lagi jalan-jalan harus tetap kerja. Saat itu saya harus apply living allowance untuk beasiswa saya sedangkan saya gak bawa laptop. Untungnya saya nginep di CS di Budapest saat itu, dan host saya meminjamkan laptopnya untuk apply LA tersebut. Saya kira semua sudah beres sampai 2 minggu kemudian dibilang LA saya tidak disetujui karna kurang persyaratan. Saat itu saya di Swiss dan semua serba mahal. Coba cari-cari di gmaps pun saya gak nemu internet cafe di sekitar hostel saya. Saat udah hampir putus asa dan merelakan LA tersebut, saya tanya landlord hostel tempat saya menginap dan Alhamdulillah ternyata hostel tersebut menyediakan PC lengkap dengan internet dan printernya secara gratis. - Berantem sama travel mate
Memang benar bahwa traveling bisa bikin karakter asli seseorang terlihat. Saat saya sedang mengalami the worst series of events di poin 11, saya dan travelmate saya akhirnya berantem. Setelah mendinginkan suasana dan berhasil melewati malam penuh ketidakjelasan itu, paginya berantem lagi dan akhirnya kami split. Sore harinya saat kami sudah kembali ke hotel akhirnya kami bicara heart to heart dan reconcile. Ada momen tertentu dimana saya berharap lebih baik sendirian dibanding bersama travel mate.
No comments:
Post a Comment