Monday, May 8, 2017

Secarik Catatan di Negeri Ottoman (Part 2)

Di pesawat dari Doha ke Istanbul saya sebelahan sama orang Jamaah Tabligh dari Afrika Selatan yang merupakan keturunan India-Prancis, yang menurut saya mukanya lebih ke Arab *nah loh. Dia baru balik dari Umroh sama keluarganya dan mau jalan2 dulu di Turki selama 5 hari sebelum balik ke Afsel. Orang ini sepertinya ustadz atau mungkin ulama, cerita sama beliau sampai 2 jam tentang banyak hal salah satunya tentang kekuatan doa.

Beliau cerita bulan Ramadhan tahun lalu beliau itikaf full di 10 malam terakhir dan berdoa dengan sungguh2 untuk bisa umroh bersama keluarganya, meski dari sisi penghasilan itu hal yang sulit tapi dia percaya Allah Maha Kaya. Beberapa bulan berlalu, entah gimana ceritanya beliau ditelpon dari Pringles Malaysia, menginformasikan beliau menang hadiah jalan-jalan sekeluarga ke Meksiko gratis! Tapi karna untuk ke Meksiko ga ada direct flight langsung, jadi dia harus ke US dulu, sedangkan dia takut kebijakan Trump bakal mempersulit dia dan keluarganya ketika di US nanti. Beliau pun bilang ke Pringles tentang isu ini, dan Pringles memaklumi dan meminta Bapak ini untuk pilih destinasi manapun selain Meksiko. Dengan yakin Beliau pun milih Jeddah untuk umroh gratis sekeluarga. Wow, dari sini saya diingatkan lagi bahwa rizki dari Allah bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka.

Beliau juga biilang, sebagai orang yang sedang dalam keadaan safar, doa kita itu mustajab, makanya nanti ketika di Topkapi dan melihat barang2 peninggalan Nabi Muhammad SAW, jangan cuma melihat dengan mata tapi juga refleksikan dengan hati dan berdoa dengan sungguh-sungguh, insha Allah itu baik. Beliau juga mengingatkan tentang nikmat sehat yang seringkali kita menganggapnya hal yang biasa dan luput untuk bersyukur. Padahal kalau kita lihat almarhum Steve Jobs, sangat jelas terbukti bahwa kekayaan tidak dapat membeli kesehatan. Intinya perbincangan saya saat itu bisa dibilang sangat mencerahkan, banyak yang sudah pernah saya dengar sebelumnya tapi ketika saya dengar lagi dari beliau seperti saya baru pertama kali mendengarnya.

Akhirnya setelah menempuh 4,5 jam di udara, tiba juga saya di Turki! Setelah pamitan sama si Bapak Mahmud yang dari Afsel, saya pun meluncur ke bagian imigrasi dilanjut ke bagasi, dan tentu ke atm untuk ambil uang lira secukupnya. Saya sudah bawa dolar sebenarnya, tapi tentu rate di bandara tinggi, makanya saya cuma butuh 50 lira lah untuk jaga2 sampai esok harinya. Transaksi pertama saya adalah beli Istanbul Kart. Kartu ajaib yang bisa digunakan untuk naik bus, tram, metro subway, ferry, kereta gantung, bahkan masuk toilet bisa pake kartu ini. Setelah ketemu sama si Malik, kami pun lanjut ke tempat kami bermalam.

Pertama kali saya menginjakkan kaki keluar airport saya lebih banyak tersenyum, mennn rasanya my dream comes true! Meski dingin menggigit dan saya cuma pakai kemeja lengan pendek plus sepatu sendal, hati saya hangat ketika pertama kali keluar dari stasiun metro dan berjalan kaki ke rumah yang kami tinggali di Istanbul. Yep, ini adalah foto pertama saya di sini, masjid di sebelah guesthouse kami:


Bicara tentang sepatu sendal, hmmm, karna saya tau saat ini sedang spring di Turki maka saya kira cuacanya sudah tidak lagi dingin. Padahal temen Turki saya sudah nyuruh saya bawa 1 jaket tebal tapi saya dengan sok tau menganggap dirinya lebay, akhirnya saya cuma bawa 2 sweater yang akhirnya saya sendiri yang merasakan akibatnya. Selain itu saya gak pakai sepatu! Membayangkan diri ini mau bergaya ala bule yang dateng ke indonesia yang cuma pake sendal plus kaos oblong, lah tapi lupa kalau Turki ini negara subtropis, kadang saya memang suka konyol. Selama 19 hari saya di Turki, bawaan saya adalah 2 kaos ngegym, 2 kaos tidur, 2 kemeja, 2 sweater, lot of disposable underwear, 2 celana pendek, 2 celana panjang, udah., bahkan saya lupa bawa sleeping bag.

Tempat tinggal saya selama di Istanbul adalah guesthouse bagi tamu-tamu dari NGO yang bergerak di bidang sosial, namanya Care Dernegi. Salah 1 manager di kantor saya punya teman baik di Turki dan akhirnya menghubungi rekannya di NGO tersebut supaya saya bisa tinggal di guesthouse tersebut. Di sana saya ketemu dengan mahasiswa asal Filipian, Ashraf dan Ridwan, 2 mahasiswa Turki, Yigit dan Mahir, dan 1 staff NGO yang tinggal disitu juga, namanya Ahmad. Saya dan Malik lebih banyak cerita2 dengan Ashraf dan Ridwan karna orang2 Turki di sana tidak bisa bahasa Inggris.

Host kami di sini baik banget, kami diajak makan malem bareng2, cerita2 tentang budaya, bahasa, makanan dan banyak hal lainnya. Serunya, Ashraf dan Ridwan ini memang tertarik banget dengan budaya Indonesia, bahkan dalam beberapa hal Ashraf lebih tau tentang Indonesia zaman dulu dibanding saya, karna thesisnya memang tentang penyebaran Islam di Asia Tenggara. Ridwan bahkan tau lagu2nya Raisa sama Afghan, hahaha, menarik. Oiya waktu saya masuk ke kamar mandi di sini, saya liat ada hair dryer, dan ternyata hair dryer di Turki bukan cuma milik kaum hawa tapi kaum Adam pun memakainya, hahaha. Dan ini adalah tempat kami tidur selama di sana. Selama saya dihost di Turki, tempat tidur saya adalah sofa. Tapi sofa-sofa disini bisa multifungsi, sebagai tempat duduk dan tempat tidur, jadi untuk tidur sofa ini tinggal diluruskan saja, praktis dan gak boros ruang.


Malam semakin larut, mata makin ngantuk, dan saya makin tidak sabar untuk memulai petualangan esok harinya...

No comments: