Monday, January 22, 2018

Secarik Catatan di Negeri Ottoman (Part 6)

Kegiatan pagi ini adalah masak nasi untuk dibawa buat makan siang nanti. Saya pinjam mini rice cooker punya teman, yang saya pikir cara menggunakannya sama seperti rice cooker biasa.
barang bukti kedunguan
Saat saya sudah masukkan beras yang sudah dikasih air ke dalam rice cooker tapi lampunya terus2an mati, gak berhasil dimasak. Sudah coba hubungin si empunya rice cooker tapi gak dibales2 karna di Indonesia masih pagi buta. Akhirnya saya masak nasi dengan cara konvensional, yang menghabiskan waktu hampir 1 jam. Setelah si empunya rice cooker bangun, barulah dia kasih tau cara untuk masak nasi yang ternyata bagian luar stainless berisi beras tersebut harus dikasih air juga. Pelajaran buat saya nih, kalau minjem barang mbok ya ditanya dulu cara pakainya, bukannya sok tau main bawa aja itu barang tapi gatau cara pakainya 😐

Makan siang saya hanya nasi putih, abon dan sambal terasi ABC. Ngomong-ngomong tentang sambel, ternyata orang Turki gak tahan sama pedes. Pernah saya tawarin sambal saya ini ke Cihan, trus dia dengan pedenya mencocol sawi ke sambal ini dan berakhir dengan dia gak bisa tidur semaleman karena muntah2. Setelah itu saya gak mau ngasih sambel saya ke orang Turki kecuali mereka maksa. Bagi saya, sambel terasi ini sungguh penyelamat, tanpanya hidup terasa hambar *berlebihan.
#TerasiForLyfe

Hari ini kami ke Goreme Open Air Museum, dengan biaya 30 TL, tapi karna Cihan punya tiket yang gak dipake akhirnya kami pake punya dia dengan hanya bayar 25 TL, lumayan lah hemat 5 TL. Di open air musem ini kita bisa liat berbagai rumah batu yang dulu digunakan sebagai katedral dan kapel, mirip seperti selime monastery sih sebenarnya. Di beberapa bagian bahkan lengkap dengan lukisan2 indahnya juga. Setelah dari Open Air Musem kami ke gereja yang ada di deket situ, yang menurut saya gereja paling bagus di kawasan Goreme. Lagi-lagi, semua gereja yang ada di sini sudah tidak digunakan sebagai tempat beribadah. Oiya, cara ke Goreme Museum ini gampang kok kalau mau sendiri, tinggal naik dolmus aja (versi keren angkot), tujuan urgup, nanti minta berenti di Museum, cukup bayar 3 TL.
open air museum
soooo clean!





lukisannya masih terjaga



awan putih yang kontras dengang langit birunya



Puas menikmati museum dan gereja, kami mulai petualangan jalan kaki kami menyusuri Rose Valley dan Love Valley. Sebenarnya kalau gak mau repot bisa ikut Red Tour dengan bayar 90 TL, tapi karena kami gak mau buru2 kaya kemarin, kami pergi sendiri aja biar puas menikmati sepanjang jalan, jalan kaki selama 6 jam gak begitu kerasa kok karna disajikan pemandangan eksotis sepanjang lembah yang disusuri. Buat yang mau jalan sendiri seperti kami, gak usah khawatir kesasar, karena track nya sangat jelas kok, di gps juga keliatan. Yang khas dari Rose Valley adalah bebatuannya yang unik2, dengan berbagai bentuk, kebanyakan seperti jamur.
track rose valley, ready to get lost!
pemandangan sepanjang jalan

didominasi oleh bebatuan besar dengan berbagai bentuk

kebanyakan menyerupai pensil

warung kecil ditengah rimba bebatuan
Nah, yang unik dari Love Valley adalah bentuk batu2annya yang seperti alat kelamin pria, itulah kenapa dinamakan Love Valley. Saya jadi inget ada suatu gunung di Enrekang, Sulsel yang dinamakan Gunung Nona, karena bentuknya yang seperti kelamin wanita, hahaha dasar manusia yee. Di Love Valley ini lah kami istirahat di sebuah warung kecil, sambil minum jus pomegranate seharga 7 TL yang segar, dan kami makan bekal kami disini. Si empunya warung adalah kakek2, dan melihat saya mengeluarkan sambal andalan, dia penasaran dan mau coba. Saya udah bilang ini cabe super pedes, tapi dia maksa banget mau nyoba, katanya dia suka pedes. Dia ambil roti dari dalam dapurnya, trus mencomot sambal yang lumayan banyak! Udah saya ingatkan berkali2 tapi ngeyel yaudah terserah lah pikir saya. Pas dimakan....1 detik....2 detik.....3 detik....wooohooo ternyata dia beneran suka pedes!! Kami pun bertukar cerita setelahnya, dan dia ngasih teh gratis untuk kami berdua, makasih kakek :)
menikmati juice pome ditengah teriknya cappadocia

menu makan minimalis "yang-penting-ada-sambel" oriented-
bebatuan yang katanya mirip alat kelamin pria

terlihat guratan akibat terkikis angin

eh ada yang lagi kimpoy 💘💘

serasa ninja hatori yang lagi menyusuri lembah batu tak berujung
Setelah perjalanan menyusuri lembah, rasanya seneng banget ketika melihat jalan raya lagi. Ternyata kami muncul di Uchisar, masih 3 km menuju Goreme. Sambil jalan saya coba peruntungan dengan menyetop sembarang mobil yang lewat, niatnya mau minta tumpangan alias hitchhike, ternyata sulit 😳
Mencoba berkali2 ga ada mobil yang berenti, padahal udah senyum biar mobil2 pada berenti *atau mungkin gara2 senyum2 makanya pada ga berenti*. Mungkin juga karna kami ga serius hitchhike-nya karna sambil jalan sambil nyetopin mobil, jadi dikira main2 kali, entahlah.
kebahagiaan HQQ, melihat jalan raya setelah 6 jam jalan kaki in the middle of nowhere
Di perjalanan balik ke Goreme saya terus whatsapan sama Cihan, ternyata untuk besok subuh seluruh balloon company cancel penerbangan mereka, sedih banget, padahal udah ngebayangin melihat matahari terbit dari atas balon udara. Sampai di Goreme, kami nunggu dolmus ke arah Urgup, karna rumah Cihan adanya di Urgup, sekitar 9 km dari Goreme. Di terminal Urgup kami buru2 cari tiket ke Antalya buat malam ini, tapi ternyata udah pada penuh, akhirnya kami beli tiket untuk berangkat esok pagi hari. Tiket ke Cappadocia ke Antalya seharga 65 TL menggunakan bus Metro.
perjalanan Uchisar menuju kembali ke Goreme

Goreme dari kejauhan
Sampai di rumah Cihan kami ngobrol2 keseruan hari itu, dan seperti biasa Umit, temennya Cihan, asik ngobrolin politik. Waktu kami di sana, memang momennya pas, sedang ada referendum untuk mengubah sistem Parlementer ke Presidensial, dan masyarakat harus memilih Evet (Setuju) atau Hayir (Tidak Setuju). Dari hasil quick count yang kemudian disusul oleh hasil official, ternyata perbandingannya tipis banget, Evet sekitar 51% dan hayir sekitar 48 koma sekian persen, tapi ya akhirnya diimplementasikan sih kebijakannya. Nah, Umit ini termasuk yang sangat gak setuju dengan kebijakan pemerintah Erdogan makanya dia asik cerita kebobrokan2 pemerintah, saya si ya jadi pendengar yang baik aja, hehe.
bersama Cihan, my very 1st host di couch surfing, very kind person and super tidy
Dinner kami malam itu terasa begitu spesial, kenapa? Karna kami masak Indomie! Yep, Indomie dijual disini dengan harga 1 TL saja, dan ternyata orang Turki gak suka mie, beda banget sama orang2 di Afrika Selatan sana yang mana Indomie laku keras disana. Girang bukan maen lah saat pertama kali liat Indomie dijual di toko, ya meskipun setelah dimakan rasanya sudah mengalami penyesuaian dan gak semantap di Indonesia. Perut kenyang hati senang, tidur pun nyenyak dan bersiap pindah ke kota berikutnya, Antalya...

No comments: