Sunday, July 10, 2022

My Scholarship's Journey

 5 kata paling dinanti sejak 2018, "SELAMAT ANDA TELAH LULUS SELEKSI SUBSTANSI"


Man shabara zhafira, barang siapa bersabar, beruntunglah dia.

Tulisan ini didedikasikan untuk diriku sendiri, terima kasih karena terus bersabar dan berjuang sampai akhirnya kita berhasil mendapatkan apa yang kita impikan sejak lama, setelah 9x percobaan. I'm proud of you, Fajrie Nuary.

Kisah ini dimulai sejak 2017 akhir saat diri ini berada di titik terendahnya, bahkan saat itu saya merasa sedang mengalami depresi. Saya membuat tulisan khusus tentang hal tersebut di sini.

Sebagai ikhtiar mencari distraction supaya saya bisa bangkit dan kembali bersemangat, saya mulai mengingat kembali mimpi saya untuk sekolah di luar negeri. Saya fokus persiapan IELTS dan mulai research berbagai scholarship yang cocok untuk saya. Setelah mendapat hasil IELTS di 18 Januari 2018 dengan hasil di atas prediksi saya yaitu 7,5 saya pun mulai apply scholarship pertama saya, LPDP, di bulan September. Saya gagal di tahap Seleksi Berbasis Komputer, bukan karena saya gak belajar tapi karena memang kecerdasan logis-matematis saya tidak sebaik kecerdasan kinestetik saya.

Gagal LPDP saya lanjut apply Chevening di bulan November. Saat itu saya dibantu Kak Pipit untuk membuat essay, yang saya submit di hari terakhir pendaftaran jam 1.30 dini hari. Saat itu saya tertolong karena deadline pendaftaran diundur 3 hari. Essay saya lolos tapi sikap procrastinator saya untuk mendapatkan rekomendasi membuat saya gagal dipanggil untuk wawancara.

Tahun berganti, saya pun melanjutkan perjuangan saya dengan mendaftar beasiswa Erasmus Mundus di bulan Februari 2019. Beasiswa ini prosesnya sangat simpel, hanya membuat essay tanpa interview. Saat itu saya sangat amat ingin beasiswa ini karena berpindah2 negara. Pengumuman di bulan April menyatakan bahwa saya masuk reserved list, yang baru akan berangkat jika statusnya berubah jadi main list. Setelah digantung beberapa minggu, jelaslah sudah bahwa status saya tidak berubah dan saya gagal beasiswa ini. 

Kesedihan saya yang teramat sangat bahkan sempat mengguncang iman saya, saya sampai trauma berdoa, karna merasa doa saya tak kunjung dikabulkan. Saya menuliskan kekecewaan saya di sini yang akhirnya jadi postingan terakhir saya tentang beasiswa. Untuk mencari distraction, saya gak mau berlama-lama sedih dan langsung mulai apply AAS di hari yang sama saya dapat pengumuman Erasmus. Beasiswa ini sepertinya memang lebih segmented & targeted, saya bahkan gak lulus di tahap administrasi.

Tahun 2019 ditutup dengan percobaan ke-5 saya mencari beasiswa di bulan Mei, kali ini melalui LPDP untuk kedua kalinya. Setelah belajar lebih giat, saya berhasil lulus SBK namun saya gagal di proses interview. Setelah saya sadari dan bandingkan dengan usaha saya saat saya lulus sekarang, ternyata memang usaha saya saat itu masih sangat minim, jawaban saya masih sangat naive, dan rencana kontribusi saya sangat lemah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saat itu saya merasa sudah cukup berjuangnya, mental saya sudah sangat jatuh, saya lelah secara batin. Saya putuskan bahwa saya memang tidak ditakdirkan untuk S2 di luar negeri, lebih baik saya fokus membangun karir saya.

Tahun 2020 saya tidak mendaftar beasiswa sama sekali. Hal ini dikarenakan beberapa faktor; (1) saya sudah mulai berdamai dengan diri sendiri bahwa saya memang tidak ditakdirkan untuk S2 di luar negeri, (2) saya mendapat peran baru sebagai Branch Head di Medan yang membuat saya harus sangat fokus pada pekerjaan saya, (3) terjadi pandemi dan LPDP tidak membuka pendaftaran di tahun tersebut.

"Mimpi itu tidak mati, ia hanya mati suri. Akan ada saatnya di masa depan, mimpi itu muncul lagi."

Tahun 2021 saya mulai kembali berjuang, saya tidak mau mimpi saya untuk S2 di luar negeri kelak menghantui saya di masa depan, menyesal karena saya tidak memaksimalkan usaha saya sampai benar2 tidak ada kesempatan lagi. Saya tes IELTS di bulan Mei dan mendapat skor yang persis sama dengan skor IELTS saya 2 tahun lalu. Saya daftar LPDP untuk ke-3 kalinya di bulan Juni dan lagi-lagi harus tertahan langkahnya di SBK yang namanya kini berubah jadi Seleksi Substansi Akademik. Bukan saya tidak belajar, tapi memang soalnya jauh lebih susah. Soal yang keluar adalah seperti soal UTBK/SPMB yang bikin saya cukup emosi mengingat saya daftar beasiswa untuk ilmu sosial bukan ilmu eksak. Tes ini diadakan secara online karena masih pandemik, dan saya dengan bodohnya mengerjakan di kantor. Saat sedang asik mengerjakan, ada yang mengetuk-ngetuk pintu ruangan saya karena mau ambil proyektor. Sudahlah soal susah, konsentrasi dibuat makin buyar karena orang ketuk-ketuk pintu berulang kali. Failed, totally failed.

Belajar dari kegagalan sebelumnya, saya persiapan lebih serius lagi kali ini. Sumber belajar saya bukan hanya dari 1 buku tapi 3, ditambah soal-soal dan pembahasan dari youtube. Setiap hari belajar minimal 2 jam selama 2 minggu, dan bangun malam untuk latihan soal pun rutin saya lakukan. Saya pun sengaja ambil cuti supaya saya bisa konsentrasi tanpa gangguan saat mengerjakan soal nanti. Semua effort itu ternyata masih gagal mengantarkan saya ke tahap berikutnya, yepp, saya gagal di Seleksi Substansi Akademik lagi. Lagi-lagi kesabaran saya diuji kali ini. Saya tidak mau menyalahkan diri saya karena saya kenal betul diri saya yang memang kurang dalam hal logis-matematis. Lelah, mental dan hati saya mulai merasa lelah dan seakan memanggil trauma kegagalan2 sebelumnya.

Tak mau lama-lama bersedih, saya langsung menyiapkan essay untuk apply Chevening di bulan Oktober. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kondisi saya saat itu masih belum baik-baik saja karena kegagalan LPDP. Saat saya minta review essay, saya kena mental dan akhirnya memutuskan untuk tidak 100% mengeluarkan effort saya. Essay yang saya submit pun akhirnya tidak banyak berbeda isinya dengan essay saya 2 tahun lalu. Hasilnya keluar di bulan Februari, tentu seperti yang sudah saya prediksi, hasilnya menyatakan saya tidak lulus di tahap essay, suatu kemunduran jika dibandingkan dengan proses saya 2 tahun lalu.

Usaha ke-9 saya dalam mencari beasiswa adalah dengan apply LPDP di bulan Maret. Sebelumnya, saya sudah mendapatkan LoA Unconditional (Letter of Acceptance) dari University of Glasgow di bulan November 2021. Oleh karena saya sudah ada LoA, saya pun daftar melalui jalur LoA. Seleksi Akademik yang selama ini jadi momok membuat saya super cemas, sejujurnya saya tidak tau harus belajar seperti apa lagi. Saya merasa belajar saya sudah maksimal tahun lalu, tapi masih saja gagal. Kecemasan saya hilang seketika saat saya menerima email dari LPDP yang menyatakan bahwa saya tidak perlu ikut Seleksi Akademik karena saya sudah ada LoA Unconditional. Alhamdulillah, saya senang bukan main! Saat itu saya merasa Allah baik banget sama saya, hati kecil saya mengatakan bahwa mungkin inilah saatnya, Allah memudahkan jalannya karena ini adalah saat yang dipilih Allah. Tapi tentu saya tidak mau jumawa dulu, saya terus bersyukur dan kembali fokus untuk persiapan tahap berikutnya.

Tidak mau gagal seperti tahun 2019 saya pun meningkatkan usaha saya dengan join ke grup Telegram sesama pendaftar LPDP, join Discord untuk minta simulasi/mock interview dengan awardee batch sebelumnya, dan tentu memperkaya referensi dengan banyak menonton youtube awardee sebelumnya. Mock interview ini adalah yang paling impactful menurut saya, sangat membantu saya mengetahui apa yang kurang dan sudah bagus dari jawaban-jawaban saya. Terhitung sampai 3x saya mock interview dan insight yang saya dapatkan sangat on point, langsung saya implementasi saat interview saya yang sebenarnya.

Hari interview pun tiba, setelah menunggu 2 jam 15 menit dari jadwal dimulailah interview saya dengan 3 interviewer, total durasi interview kira-kira 45-50 menit. Tidak seperti yang lain, interview saya 100% english. Pertanyaan demi pertanyaan saya jawab dengan cukup baik, kecuali 1 mengenai rencana after study yang membuat saya insecure dengan jawaban saya karena terlihat saya tidak jelas menjawabnya. Hal ini sukses membuat saya overthinking selama 3 minggu menjelang pengumuman.

4 Juli 2022 pukul 19.34

Video speaks louder than words, here is my reaction ketika akhirnya perjuangan dari tahun 2018, 8x gagal dan akhirnya berhasil di percobaan ke-9. 

Banyak hikmah yang akhirnya membuat diri ini sadar bahwa memang Timeline dari Allah adalah yang terbaik, selalu seperti itu. Apa aja sih hikmahnya:

  • Kalau saya lulus tahun 2019 waktu itu, saya melewatkan 2 kesempatan dan pencapaian, yaitu (1) menjadi Branch Head dan (2) menjadi pemenang Global MVP 2020. Alhamdulillah, saya tidak lulus dan akhirnya mendapat 2 kesempatan tersebut.
  • Kenapa saya tidak lulus tahun 2021 kemarin? Karena Allah ingin saya mewujudkan impian saya sejak awal jadi Branch Head Medan, yaitu membawa Medan jadi Branch terbaik Nasional. Alhamdulillah, saya berhasil mewujudkannya di Tahun 2021 kemarin, Medan-Pekanbaru jadi Branch Terbaik Nasional.
  • Kenapa tahun 2022 ini? Agar saya bisa menyiapkan successor di tim saya untuk menggantikan peran saya sebagai Branch Head, yang mana lagi2 ini adalah visi saya ketika awal saya menjadi BH di Medan, yaitu ingin melahirkan Branch Head yang asli dari Medan, tidak lagi dari Jakarta. Selama 2 tahun ini pun saya terus develop kandidat saya ini untuk menggantikan saya, sehingga ketika saya pergi saya tidak meninggalkan masalah di belakang, justru ini sangat bagus untuk successor saya yang akhirnya mendapat kesempatan besar untuk belajar mengasah managerial skillsnya.
Dari sini saya belajar, bahwa saya memang orang yang keras kepala jika sudah memiliki 1 kemauan, contohnya adalah perjuangan untuk S2 di luar negeri ini. Terima kasih Fajrie Nuary, kamu tidak menyerah meski banyak yang meminta kamu berhenti, mungkin mereka pun gak tega melihat kamu yang terus gagal. Terima kasih untuk determinasinya, profesionalitasnya untuk menjaga performance terbaik meski sedang menyiapkan S2 ini tapi kamu tetap bisa membawa Medan-Pku jadi yang terbaik.

Saya jadi teringat pertanyaan saat wawancara kemarin, "coba bayangkan Anda sedang berada di atas panggung, dan Anda diminta menyampaikan speech mengenai hal yang ingin Anda ubah dalam kehidupan Anda", saat itu kurang lebih jawaban saya adalah "Saya tidak ingin mengubah apapun dalam diri saya, proses untuk menjadi Fajrie Nuary versi saat ini sangatlah panjang, dan saya yakin segala kejadian baik itu positif maupun negatif, itulah yang membentuk diri saya sekarang."

Perjalanan beasiswaku:
2018
- LPDP
- Chevening

2019
- Erasmus
- AAS
- LPDP

2021
- LPDP
- LPDP
- Chevening

2022
- LPDP

So, yeah, saya bersyukur atas segala kejadian yang menimpa diri saya, segala kegagalan yang mampir di kehidupan saya, segala kesuksesan yang berhasil mengguratkan senyuman di wajah saya. Saya sepenuhnya sadar bahwa segala emosi adalah temporer, termasuk emosi bahagia ini. Saya tidak bisa berharap bahwa saya akan bahagia selamanya, dan saya tidak perlu khawatir saat saya berada dalam kesedihan nanti, karena kesedihan itu pun tidak akan selamanya. 

This is just a new beginning, Fajrie. Let's achieve more, grateful more, and do good even more! 
Glasgow, I'm coming! 😊

Tuesday, September 24, 2019

I don't know what love is, until...

Aku adalah orang egois yang cinta kebebasan.
Aku sering berpikir, apa aku bisa jadi laki-laki yang rela meminta maaf meski tidak melakukan kesalahan.
Apa aku rela meladeni sikap manja dan drama perempuan.
Apa aku akan ketemu orang yang membuatku ingin memperjuangkannya, mengeluarkan versi terbaik dari diriku.
Sepertinya waktu tersebut gak akan datang.
Sampai tiba-tiba di saat ku pulang kerja, bayanganmu terus menghantuiku saat ku asyik berkendara.
Bayangan liar penuh kebahagiaan dikala kita menjalin cinta.
Entah kenapa saat itu aku berpikir, sepertinya aku layak mendapat kesempatan untuk mencintai dan dicintai. Aku akan memberi kesempatan kepada diriku sendiri untuk membuka hatiku, meski ada resiko untuk terluka.
Aku ingin memperjuangkan, mengalah, terlibat dalam drama, selama itu bersamamu.
Lagu demi lagu yang penuh cinta kerap kuputar, dan selalu dirimu yang kubayangkan.
Ah, andai ku punya keberanian untuk memulai percakapan...

Tuesday, April 16, 2019

I never feel broken heart, I barely feel betrayed, but now I feel it, and it's hurt.

So last night, in a peaceful night, I whatsap my friends, just a casual talk as usual. At some point I did mention to her, hopefully I can take you to do Glasgow tour early next year, AMIN! *i was that "gak santai"

Another friend asked me "are you high or something" due to my lebay response toward his whatsap. I replied, "i'm stress, counting down the announcement day". And you know what, right after I replied that whatsap I received email, from Erasmus!

I panicked, I was shaking and keeping my zikr so Allah will strengthen me no matter what the result was. After I can control my body, I opened the email. I went through to the bottom and saw "meeting you in person", I gasped, I thought it would be a good sign but I was wrong. When I reread the email, it was actually a rejection letter, again. Yep, that was the 3rd time I've been rejected. However, the email mentioned that my name was put in the reserve list, so there might be an opportunity, the final result will be announced by mid of May. But hey, siapa juga orang yang mau nolak beasiswa Erasmus Mundus, daftarnya aja udah susah.

How did I feel? I felt betrayed, disappoint, sad, angry, you name it. After 5-10 mins breakdown I was numb, I stood up, open my laptop and started to fill the application for Australia Awards Scholarship. I am not really sure if I want to apply another scholarship, but I think that's my way to get distracted from my sorrow, by keeping myself busy. And now, here I am, 9 PM still busy with my work at the office. I pull myself out from people, I even uninstall my whatsapp, I didn't tell anyone but my best friend about this, and I hope he doesn't say anything to anyone. This is me, trying to cope with my sorrow by dissolve in my sorrow. I remember he asked me about this one day, "how would you feel if the result is not as you expected?". "I'll get devastated", I said. Well, it happens now.

Friday, March 1, 2019

Namanya juga hidup yekan

Hidup itu memang selalu penuh liku-liku, ada suka dan ada duka, hmmm, kok jadi kaya lagu. Anyway, minggu lalu saya mengalami kegelisahan yang amat sangat, sulit tidur, sampe akhirnya browsing sana sini gak jelas dan ketemulah artikel yang judulnya "ketika intuisi mengganggu ketenangan". Saya merasa bukan orang yang peka dan memiliki intuisi super, tapi saat itu saya seperti yakin, something bad will happen soon. Dan yak, ternyata benar. Gak sampai seminggu setelah perasaan gak enak itu datang, saya tiba-tiba dapet rejection letter dari Chevening. Tanpa keterangan dan alasan yang jelas kenapa saya gagal di seleksi pertama tersebut. Feeling saya sih karena reference letter yang terhitung lewat dari deadline, tapi sebenarnya gak juga, karena ada perpanjangan deadline untuk referee mengirimkan reference letter. Rejection letter tersebut saya terima 6 jam setelah referee pertama saya (bos di kantor) mengirimkan reference letter. Hmmm, what did you write about me on that letter, Yuta??? Hahaha, tentu kegagalan saya bukan karena reference letter tersebut. Keselnya lagi, pihak Chevening di dalam email itu bilang karena banyaknya applicants, mereka ga bisa kasih personal feedback tentang alasan kita gagal di tahap tersebut. So, sepertinya alasan kegagalan saya di Chevening akan jadi misteri selamanya.

Sedih gak? Pasti lah, apalagi ini kedua kalinya saya gagal dalam mendapatkan beasiswa, dan keduanya gagal di tahap pertama. Tapi, gak seperti biasanya, yang mana saya bakal sedih berlarut2 dan susah move on, kali ini saya ngerasa lebih selow sih. Mungkin karena di lubuk hati saya memang lebih pengen beasiswa yang lain kali ya, yaitu Erasmus Mundus. So, Erasmus bakal jadi harapan terakhir saya, pengumumannya akhir April. I don't know if I can bear another failure, that's why saya makin kencengin doa saya berharap saya bisa berhasil kali ini. Mohon doanya ya bagi siapapun yang baca blog ini.

Fa inna ma'al 'usri yusra. Innama'al 'usri yusra. Setelah kabar kegagalan tersebut, Allah memberi saya penghiburan, saya terpilih jadi Quipperior of The Month. Sebenernya agak malu ya kenapa baru dapet sekarang setelah 2 tahun (?) award ini ada. Alasan saya dapet award ini adalah karena saya led project Tryout, dan karena project ini, untuk pertama kalinya selama 4,5 tahun saya kerja di Quipper, saya pulang dari kantor jam 2 dini hari. Meski hanya berupa sertifikat, lumayan lah ya buat dipajang di CV, dan yak, lembur saya setiap hari terbayar sudah.

Update lainnya adalah, saya bakal ikut misi budaya lagi, kali ini ke Filipina. Awalnya saya nolak karena selain negaranya yang gak menarik menurut saya, biayanya juga mahal dibandingkan misi budaya ke Korea tahun lalu. Eh ternyata biayanya turun 40%, yaudah impulsifnya kumat deh. Katanya ini bakal lebih seru dibanding yang di Korea ya, let's see, saya udah ga sabar sik. Dannnn, misi budaya tersebut bakal berlangsung dari tanggal 25 April - 1 Mei. Yak betul, itu adalah masa-masa pengumuman beasiswa Erasmus saya. Sumpah ya tiap kali keingetan hal tersebut, saya langsung mual, saya gak tau apakah saya bakal tersenyum bersujud penuh syukur karena lolos atau bakal numb, bengong dan broken inside karena gagal lagi. Semoga aja yang pertama, jadi gak merusak mood saat di Filipina nanti. Amiinn..

Sunday, January 27, 2019

Overthinking

Ada 1 bad habit yang saya miliki dari saya kecil, "overthinking". Hal ini sering jadi penyebab kecemasan saya yang berlebihan. Adakalanya saya capek jadi orang yang selalu overthinking, dan saat ini adalah puncak rasa muak saya terhadap overthinking ini. Gara2 overthinking, saya jadi gak sepenuhnya "hadir" di momen2 berharga, misalnya lagi reunian sama temen SMA. Normalnya, ini adalah hal yang paling saya suka, bertemu dengan jangkar kehidupan saya, berbincang penuh kehangatan, becanda yang itu-itu saja tapi selalu terasa baru. Tapi, ada hal yang berkaitan dengan kerja yang mengganggu pikiran saya seharian ini. Saya cemas, takut akan timbul banyak issue saat projectnya berjalan besok. So, saat lagi acara saya malah hubungin teman kantor saya, yang susah sekali dikontak (karena weekend juga kali jri!). Dan itu hanya menambah kecemasan saya. Sampai pulang pun, mereka belum memberi update apa2 dan makin memperparah kecemasan saya. Selesai acara reuni saya merasa hampa, kosong banget, saya baru mulai merasa sedikit lega ketika teman saya akhirnya balas whatsap saya. Tidak sampai 5 menit, isu yang muncul dari pagi sudah terselesaikan. Ya, karena overthinking saya seringkali khawatir berlebihan yang ga ada faedahnya dan merugikan saya dua kali karna saya gak bisa live the moment saat berbagai isu datang melanda. Hhhhh, capek.

Saturday, January 19, 2019

Saat ini doa saya cuma 1; lolos beasiswa Erasmus Mundus dan bisa mulai kuliah September tahun ini. Butuh banyak doa banget nih supaya Allah berbaik hati mewujudkannya. Tapi beasiswa ini beda dari beasiswa kebanyakan, yang mana hanya mengandalkan essay yang kita buat tanpa adanya interview. Proses bikin essay pun luar biasa melelahkan. Saya ga inget berapa banyak sleepless nights selama prosesnya, yang saya inget saya mulai bikin essay itu akhir November dan baru selesai finalnya tanggal 14 Januari. Bahkan setelah dibaca lagi pun masih aja terasa essay yang saya buat, dengan feedback dari 5 orang dan 9x revisi, masih gak sekuat essay kak Putri, senior saya yang dapat beasiswa ini tahun lalu. So, bagi saya yang saya butuhkan saat ini adalah keajaiban, ridho Allah, itu aja. Ridho orang tua insha Allah udah dapet, ikhtiar udah, doa udah, ya tinggal hasilnya aja lah. No matter tu essay jelek sekalipun, klo Allah udah berkehendak ya kun fayakun. Begitu juga sebaliknya, se-pede apapun diri saya sama tu essay, ditambah ikhtiar dan doa, klo emang takdirnya bukan buat saya ya ga bakal dapet juga. Yahhh, saya mah cuma berdoa kalaupun hasilnya gak sesuai sama keinginan, Allah berikan hati saya ketenangan, keikhlasan, supaya saya gak terlalu kecewa yang akhirnya melakukan kebodohan-kebodohan yang merugikan diri saya sendiri. Amiinn.
Punya sahabat dari kecil sampai sekarang, dimana kita bisa mencurahkan segala cerita, emosi, kebahagiaan, kesedihan, ahhh, pasti senang rasanya punya sahabat seperti itu. I had once, but as we grew up, things happened. Bodohnya saya bahkan ga inget what was that stupid things that separated us. Waktu berjalan saya punya sahabat yang lain, kami sering menjalani random things bareng-bareng, random trip, random kulineran, tapi tahun-tahun belakangan the "are" perlahan berubah menjadi "were". Ketika kita menganggap seseorang itu berarti untuk kita, we'll definitely prioritize them over anything, no? Dan sekarang makin kerasa kalau saya hanya complimentary, backup plan klo emang ga ada lagi yang bisa nemenin hari-harinya. When you value friendship more than ever and it turns out that they don't feel the same anymore, bhayyy.